
Mengapa Banyak Budaya Menyukai Rasa Asin yang Ekstrem?
Rasa asin adalah salah satu dari lima rasa dasar yang dapat dikenali oleh lidah manusia, bersama dengan manis, asam, pahit, dan umami. Namun di berbagai penjuru dunia, kita bisa menemukan banyak makanan tradisional dengan kadar garam yang sangat tinggi, bahkan terkesan ekstrem. Mulai dari ikan asin di Asia Tenggara, keju fermentasi di Eropa, hingga pasta ikan di Skandinavia, semuanya memiliki satu kesamaan: rasa asin yang kuat dan dominan.
Lalu, apa yang membuat rasa asin ekstrem begitu digemari di banyak budaya? Apakah hanya sekadar selera rasa asin, atau ada alasan historis dan biologis di baliknya? Mari kita bahas lebih dalam.
1. Garam Sebagai Pengawet Alami
Sebelum manusia menemukan teknologi pendingin seperti kulkas, garam adalah alat utama untuk mengawetkan makanan. Daging, ikan, dan sayur difermentasi atau diasinkan agar tahan lama dan bisa disimpan selama berbulan-bulan. Proses ini bukan hanya mempertahankan makanan, tetapi juga mengubah rasa dan menciptakan profil cita rasa yang unik.
Di Jepang, misalnya, miso dan kecap adalah hasil fermentasi kedelai dengan garam. Di Eropa, keju-keju keras seperti pecorino dan parmesan memiliki kadar garam tinggi untuk mencegah pembusukan. Di Indonesia, ikan asin atau dendeng juga lahir dari kebutuhan akan pengawetan.
Dengan kata lain, kebiasaan makan makanan asin bermula dari kebutuhan praktis, lalu berkembang menjadi bagian dari identitas kuliner.
2. Adaptasi Lidah dan Selera Budaya
Ketika orang tumbuh besar dalam budaya yang terbiasa dengan thesilit.com rasa asin ekstrem, lidah mereka beradaptasi. Rasa yang bagi orang luar terasa “terlalu asin” justru dianggap normal atau bahkan nikmat oleh mereka yang terbiasa.
Contohnya, Vegemite di Australia dan marmite di Inggris adalah pasta berwarna gelap dengan rasa asin-pahit yang sangat kuat. Meski banyak orang asing tidak tahan mencicipinya, makanan ini sangat populer di negara asalnya dan dianggap bagian dari sarapan tradisional.
Hal serupa juga terjadi di Asia, di mana fermentasi dan penggaraman merupakan bagian penting dari teknik memasak. Hasilnya adalah makanan seperti ikan asin, telur asin, atau terasi, yang kaya rasa dan membuat ketagihan bagi mereka yang terbiasa.
3. Rasa Asin Memperkuat Umami dan Rasa Lain
Secara ilmiah, garam meningkatkan persepsi rasa lainnya, termasuk rasa manis dan umami. Inilah sebabnya mengapa makanan asin sering terasa lebih “berisi” dan memuaskan. Garam juga mengurangi rasa pahit, sehingga membuat makanan lebih seimbang.
Di banyak masakan tradisional, kombinasi antara rasa asin dan umami menciptakan cita rasa kompleks yang disukai banyak orang. Contohnya adalah kecap asin, fish sauce, atau keju parmesan — semuanya asin, namun juga kaya umami.
4. Kenangan dan Emosi dalam Makanan
Rasa bukan sekadar urusan lidah, tapi juga memori dan emosi. Makanan asin ekstrem sering kali membawa kenangan akan masa kecil, rumah, dan tradisi. Inilah sebabnya orang bisa rindu pada makanan seperti ikan asin, telur asin, atau sup fermentasi, walaupun rasanya kuat dan mencolok.
Misalnya, bagi sebagian orang Indonesia yang merantau ke luar negeri, hanya mencium aroma ikan asin saja bisa membangkitkan nostalgia dan rasa nyaman.
5. Tantangan dan Sensasi dalam Makanan
Dalam beberapa kasus, makanan asin ekstrem juga menjadi bentuk sensasi kuliner. Makanan seperti surströmming (ikan fermentasi Swedia), atau hákarl (hiu fermentasi dari Islandia), memiliki reputasi sebagai makanan “berani” yang tidak semua orang bisa makan.
Menikmati makanan asin ekstrem bisa menjadi bentuk tantangan, baik secara sosial maupun personal. Hal ini menjadikan makanan asin tak hanya soal rasa, tapi juga pengalaman.
Apakah Rasa Asin Ekstrem Aman?
Meski banyak budaya menikmatinya, konsumsi garam berlebih tidak baik untuk kesehatan. Asupan garam tinggi dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan gangguan ginjal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan konsumsi garam harian tidak lebih dari 5 gram per hari. Maka dari itu, meskipun makanan asin ekstrem punya nilai budaya dan rasa, konsumsinya tetap perlu dibatasi dan diseimbangkan.
BACA JUGA: Cara Membuat Sayur Asam yang Segar ala Jawa